Jumat, 30 Desember 2011

bilangan tarawih

Shalat Tarawih, Keabsahan 23 Raka'at

oleh Abu Warda pada 30 Desember 2011 pukul 6:34

Kamis, 4 Agustus 2011 23:21:40 WIB

SHALAT TARAWIH, KEABSAHAN 23 RAKA’AT

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id

بسم الله الرحمن الرحيم

Shalat tarawih adalah shalat malam berjama’ah pada bulan Ramadhan. Waktunya, mulai dari selesai shalat Isya’ sampai terbit fajar. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan agar melaksanakannya. Sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ رواه البخاري و مسلم

"Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan balasan, maka dia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat".[1]

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu 'anha : “Pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid. Lalu beberapa orang bermakmum kepada Beliau. Kemudian malam berikutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, dan orang (makmum) bertambah banyak. Mereka pun berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar. Pagi harinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ رواه البخاري

"Aku telah melihat perbuatan kalian. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian (untuk shalat), kecuali kekhawatiranku, kalau-kalau itu difardhukan atas kalian". [2]

JUMLAH RAKA’AT SHALAT TARAWIH

Permasalahan mengenai jumlah raka’at shalat tarawih, selalu mengemuka setiap memasuki bulan Ramadhan. Berikut kami angkat permasalahan ini, yang kami nukil dari pembahasan yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, ketika beliau rahimahullah menanggapi sebuah risalah yang ditulis berkaitan dengan pelaksanaan shalat tarawih, baik menyangkut jumlah raka’atnya, maupun lama kecepatan shalatnya.

الحمد لله رب العالمين والصلاة و السلام على نبينا محمد خاتم النبيين وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد

Aku sudah menelaah sebuah risalah tentang shalat tarawih yang ditujukan kepada kaum muslimin. Telah sampai kabar kepadaku, risalah ini dibacakan di beberapa masjid. Risalah ini sangat bagus. Di dalamnya penulis mendorong agar khusyu’ dan tuma’ninah (perlahan) dalam melaksanakan shalat tarawih. Semoga Allah memberikan balasan yang baik atas kebaikannya. Namun, ada beberapa koreksi terhadap risalah ini, yang wajib dijelaskan. Diantaranya sebagai berikut:

PENULIS RISALAH INI MENUKIL RIWAYAT DARI IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHUMA, BAHWA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM SHALAT 20 RAKA'AT PADA BULAN RAMADHAN.[3]

Jawabnya:

Hadits ini dhaif (lemah). Dalam Syarah Shahih Bukhari (2/524) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan: "Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 20 raka’at dan witir pada bulan Ramadhan, maka isnad (jalur periwayatannya) hadits ini lemah dan bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, padahal Aisyah orang yang paling mengetahui perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari, dibandingkan dengan lainnya".

Hadits Aisyah yang dimaksudkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (3/59), Muslim (2/166) dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. Bahwa Abu Salamah bin Abdurrahman Radhiyallahu 'anhu bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'anha perihal shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. Aisyah Radhiyallahu 'anha menjawab:

مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً وفي رواية لمسلم يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ رواه البخاري و مسلم

"Pada bulan Ramadhan, Beliau tidak pernah melebihkan dari 11 rak’at. (Begitu) juga pada bulan lainnya. (Dalam hadits riwayat Muslim) Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 8 raka’at, lalu melakukan witir".

Dengan langgam bahasanya yang keras/tegas, hadits Aisyah ini memberikan kesan pengingkaran terhadap tambahan lebih dari bilangan (sebelas) ini. Sedangkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma tentang cara shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia mengatakan:

فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ رواه مسلم

"Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian 2 raka’at, kemudian witir". [HR Muslim 2/179]

Dengan ini menjadi jelas, bahwa shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam hari itu, berkisar antara 11 dan 13 raka’at.

Jika ada yang mengatakan, bahwa shalat malam yang diterangkan dalam hadits ini bukanlah shalat Tarawih, karena Tarawih merupakan sunnah yang dikerjakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

Maka jawabnya : Shalat malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan itulah (yang disebut) Tarawih. Mereka menamakannya Tarawih (istirahat), karena mereka memanjangkan shalatnya lalu istirahat setelah dua kali salam. Oleh karena itu dinamakan Tarawih (istirahat). Dan Tarawih termasuk sunnah perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam Syarah Shahih Bukhari (3/10) dan Shahih Muslim (2/177), dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha disebutkan, pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid, lalu beberapa orang shalat (bermakmum) di belakang Beliau. Kemudian malam berikutnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, lalu makmum bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak kunjung keluar. Pagi harinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ رواه البخاري و مسلم

"Aku telah melihat perbuatan kalian. Tidak ada yang menghalangi untuk keluar kepada kalian (untuk shalat), kecuali kekhawatiranku kalau itu difardlukan atas kalian".[4]

Jika ada yang mengatakan: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi diri dengan bilangan raka’at ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang untuk menambah bilangan ini, karena menambahkan bilangan raka’at merupakan kebaikan dan pahala.

Jawabnya : Bisa jadi kebaikan itu ada pada pembatasan diri dengan bilangan ini, karena itu merupakan petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika kebaikan itu terdapat pada pembatasan dengan bilangan ini, maka membatasi diri dengan bilangan ini merupakan perbuatan yang lebih utama.

Bisa jadi juga kebaikan itu ada pada penambahan bilangan. Jika demikian, berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kurang dalam melakukan kebaikan dan rela menerima yang kurang daripada yang lebih utama dengan tanpa memberikan penjelasan kepada umatnya. Demikian ini hal yang mustahil.

Jika ada yang mengatakan: Lalu bagaimana menanggapi hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwattha’, dari Yazid bin Ruman, dia mengatakan: "Dahulu pada zaman Umar, orang-orang melaksanakan shalat (tarawih) 23 raka’at di bulan Ramadhan". [Muwattha’ Syarah Az Zarqani, 1/239].

Jawabnya : Hadits ini memiliki illat (salah satu sebab lemahnya hadits) dan bertentangan. Illatnya adalah sanadnya munqhati' (terputus), karena Yazid bin Ruman tidak pernah ketemu Umar, sebagaimana dikatakan oleh ahli hadits, misalnya Imam Nawawi dan yang lainnya.

Segi pertentangannya, hadits ini bertentangan dengan yang diriwayatkan Imam Malik dalam Muwattha’ dari Muhammad bin Yusuf -dia ini tsiqat tsabat (terpercaya sekali)- dari Saib bin Yazid (dia adalah seorang sahabat), dia mengatakan: "Umar bin Khaththab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari agar mengimami orang dengan sebelas raka’at". [Muwattha’ Syarah Az Zarqani, 1/138].

Dilihat dari tiga segi, sesungguhnya hadits yang kedua ini arjah (lebih kuat) dibandingkan dengan hadits Yazid bin Ruman.

Pertama : Amalan (11 raka’at) ini lebih lurus dan lebih bagus, karena sesuai dengan bilangan raka’at yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Umar Radhiyallahu 'anhu tidak akan memilih, kecuali yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam manakala ia tahu. Sangat kecil kemungkinan beliau Radhiyallahu 'anhu tidak mengetahui tentang bilangan ini.

Kedua : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at dinisbatkan (dikaitkan) kepada Umar. Jadi itu merupakan perkataan Umar. Sedangkan hadits Yazid bin Ruman mengenai 23 raka’at dikaitkan dengan masa Umar ; jadi itu merupakan iqrar (persetujuan) Umar, sedangkan perkataan lebih kuat (kedudukannya) daripada iqrar. Karena perkataan (menunjukkan kejelasan pilihan. Adapun iqrar, kadang untuk sesuatu yang mubah bukan pada pilihan. Umar mengakui (perbuatan) mereka 23 raka’at, karena tidak ada larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan mereka bisa berijtihad dalam masalah ini. Lalu Umar mengakui ijtihad mereka, meskipun memilih sebelas raka’at, berdasarkan perintahnya kepada Ubay.

Ketiga : Hadits Saib bin Yazid mengenai 11 raka’at bersih dari illat, sanadnya bersambung. Sedangkan hadits Yazid bin Ruman memiliki illat (sebab tersembunyi yang bisa melemahkan hadits-pent), sebagaimana penjelasan di muka. Dan juga rekomendasi ketsiqahan sang perawi dari Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf lebih kuat daripada rekomendasi terhadap ketsiqahan Yazid bin Ruman. Mengenai perawi dari Saib bin Yazid yaitu Muhammad bin Yusuf dikatakan, dia ini tsiqah tsabat (terpercaya sekali). Sedangkan Yazid bin Ruman dianggap, dia ini tsiqah. Demikian ini merupakan salah satu bentuk tarjih (penguatan) dalam ilmu musthalah hadits.

Meskipun hadits Yazid bin Ruman mengenai 23 raka’at ini dianggap sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak memiliki illat dan tidak bertentangan, namun hadits ini tidak bisa diutamakan dari (hadits tentang) bilangan raka’at yang biasa dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan ataupun pada bulan lainnya.

Menanggapi perselisihan ini, maka wajib bagi kita untuk membaca firman Allah Azza wa Jalla surat An Nisa’ ayat 59, yang artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

Allah mewajibkan kita agar kembali kepada Allah, yaitu kitabNya dan kepada RasulNya ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, atau kepada sunnahnya kala Beliau sudah meninggal. Allah juga memberitahukan, jalan ini adalah jalan terbaik dan terbagus akibatnya.

Allah juga berfirman, yang artinya: "Maka demi Rabb-mu, (pada hakikatnya) mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hati". [An Nisa’:65].

Allah menjadikan berhukum kepada Rasulullah pada perselisihan yang timbul diantara manusia sebagai salah satu tuntutan keimanan. Allah menyatakan “tidak beriman” dengan pernyataan yang diperkuat dengan sumpah terhadap orang yang tidak berhukum kepada Rasul, tidak puas dengan hukumnya dan tidak taat kepadanya.

Dalam sebuah khutbahnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.[5]

Ini masalah yang sudah pasti disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Petunjuk Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dibandingkan dengan petunjuk orang lain, siapapun juga. Bahkan jika ada kebaikan pada petunjuk seseorang, maka itu semua berasal dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan para sahabat memberikan peringatan keras terhadap perbuatan mempertentangkan antara sabda Rasulullah dengan perkataan orang lain, antara petunjuknya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan petunjuk orang lain. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mengatakan:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ

"Hampir saja kalian dihujani batu dari langit, aku mengatakan “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda” (sedangkan) kalian mengatakan "Abu Bakar dan Umar mengatakan".

Bahkan ketika Umar dihadapkan kepadanya dua orang yang saling berselisih, maka terhadap orang yang tidak ridha dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Umar Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Apakah seperti ini?”, lalu ia membunuhnya. Riwayat ini disebutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Tauhid, dan dalam syarahnya Taisir Azizil Hamid, halaman 510. Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: "Kisah ini masyhur dan beredar di kalangan ulama Salaf dan Khalaf dengan peredaran yang tidak membutuhkan sanad. Dia memiliki beberapa jalur periwayatan. Kelemahan sanadnya tidak mengakibatkannya cela".[6]

Jika dikatakan kepada seorang muslim: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami jama’ah dengan 11 atau 13 raka’at, sedangkan yang lainnya mengimami orang dengan 23 atau 39 raka’at.

Maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim, kecuali mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengamalkan petunjuknya. Karena perbuatan yang sesuai dengan Rasulullah adalah amal terbaik dan lurus. Dan tujuan Allah menciptakan manusia, langit dan bumi adalah agar manusia melakukan yang terbaik. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2, yang artinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Juga firmanNya dalam surat Hud ayat 7, yang artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'ArsyNya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih baik amalnya. Allah tidak mengatakan "agar Dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih banyak amalnya".

Sudah diketahui bersama, bahwa suatu amal, semakin diikhlaskan hanya kepada Allah semata dan semakin berittiba’ kepada Rasulullah, maka amal itu pasti semakin baik. Jadi 11 atau 13 raka’at lebih baik daripada ditambah, karena keselarasannya dengan hadits yang sah dari Rasulullah n , sehingga ia lebih utama dan lebih baik. Apalagi jika shalatnya dilakukan dengan perlahan, khusyu’ konsenterasi serta tuma’ninah, yang memungkinkan bagi makmum dan imam untuk berdo’a dan berdzikir.

Jika dikatakan: Sesungguhnya shalat 23 raka’at adalah sunnah yang dilakukan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, dan merupakan salah satu dari Khulafa’ur Rasyidin, yang kita diperintahkan agar mengikutinya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku".[7]

Jawabnya : Demi, Allah! Sungguh Umar Radhiyallahu 'anhu benar-benar termasuk Khulafa' ur Rasyidin, dan kita diperintahkan agar mengikuti sunnahnya. Bahkan dia termasuk salah satu dari dua orang agar kita meneladani keduanya. Rasulullah memerintahkan kepada kita dengan sabdanya:

إِنِّي لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ

"Sungguh saya tidak tahu, masih berapa lama lagi saya akan bersama kalian. Maka sepeninggalku, ikutilah Abu Bakar dan Umar". [Diriwayatkan oleh Tirmidzi].

Umar Radhiyallahu 'anhu juga seorang yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:

إِنَّ اللَّهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ

"Sesungguhnya Allah telah menjadikan al haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar". [Diriwayatkan Tirmidzi].

Umar Radhiyallahu 'anhu juga orang yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:

لَقَدْ كَانَ فِيمَا قَبْلَكُمْ مِنَ اْلأُمَمِ مُحَدَّثُونَ فَإِنْ يَكُ فِي أُمَّتِي أَحَدٌ فَإِنَّهُ عُمَرُ

"Sungguh telah ada pada umat sebelum kalian, (yaitu) suatu kaum yang mendapatkan ilham. Dan jika ada pada umatmu seorang yang mendapatkan ilham, maka sessugguhnya orang itu adalah Umar". [Muttafaqun ‘alaih].[10]

Yang menjadi permasalahan, manakah sunnah Umar Radhiyallahu 'anhu yang menunjukkan bilangan raka'at tarawih? Sesungguhnya penetapan sunnah Umar pada 23 raka'at merupakan sesuatu yang mustahil. Telah dijelaskan bahwa keabsahan sanadnya –terlebih lagi penentuan sunnahnya- memiliki illat (salah satu tanda lemahnya hadits) dan bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat sanadnya, kandungannya dan lebih lurus amalannya. Yang sah dari Umar, beliau z memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad Dariy agar mengimami manusia dengan 11 raka'at. [11]

Kemudian, anggapan sahnya riwayat penentuan bilangan 23 raka'at berasal dari Umar Radhiyallahu 'anhu, ini juga tidak bisa dijadikan hujjah (yang mengalahkan) perbuatan Rasulullah dan juga tidak bisa menjadi tandingan baginya. Berdasarkan Al Qur'an, As Sunnah dan perkatan-perkataan para sahabat serta Ijma' (kesepakatan ulama'), bahwa sunnah Rasulullah tidak akan bisa disamai oleh sunnah orang lain. Siapapun orangnya, tidak bisa menentangnya.

Imam Syafi'i rahimahullah berkata,”Seluruh kaum muslimin telah sepakat, bahwa orang yang sudah jelas bagi sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka haram baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut disebabkan oleh perkataan seseorang.”

PENULIS RISALAH MENYATAKAN : SESUNGGUHNYA KAUM MUSLIMIN SENANTIASA (MELAKSANAKAN) 23 RAKA'AT SEJAK ZAMAN SHABAT SAMPAI MASA KITA INI, SEHINGGA MENJADI IJMA'.

Jawabnya:

Yang benar, tidaklah demikian. Perbedaan pendapat telah ada sejak masa sahabat sampai sekarang. Perbedaan ini disebutkan dalam Fath-hul Bari (4/253), Cet. As Salafiyah, yang ringkasnya, 11, 13, 19, 21, 23, 25, 27, 35, 37, 39 [ini (maksudnya 39) dilakukan di Madinah pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz. Imam Malik mengatakan: “Perbuatan ini sudah dilakukan sejak seratusan tahun lebih”], 41, 47 dan 49. (Untuk lebih jelasnya mengenai pelaksanaan shalat tarawih dengan bilangan raka'at ini, silahkan lihat majalah As Sunnah, Edisi 07/VII/2003, Pent).

Jika telah jelas adanya perbedaan, maka yang menjadi hakim pemutus dalam masalah ini adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [An Nisa':59]

والحمد لله ري العالمين وصلى الله على نبينا محمد وعلىآله وصحبه أجمعين

LAMANYA PELAKSANAAN SHALAT TARAWIH

Sebagaimana kita lihat, banyak orang melaksanakan shalat tarawaih dengan mempercepat, bahkan terkesan tergesa-gesa. Untuk memperjelas permasalahan ini, berikut kami nukilkan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, berkaitan dengan tempo atau lamanya cara melaksanakan shalat tarawih.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menerangkan:

Sangat jelas keterangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalat malamnya. Begitu pula ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi imam.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, ketika ia Radhiyallahu 'anhu shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperpanjang shalatnya sampai Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkeinginan untuk duduk dan meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [12] Lihat Al Fath-hul Bari (3/19) dan Shahih Muslim (1/537).

Sebagaimana juga pada hadits Hudzaifah [13]. Suatu ketika, ia z shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’. Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati ayat yang mengandung tasbih, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertasbih. Jika melewati ayat do’a, Beliau berdo’a. Jika melewati ayat tentang perlindungan, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan. Lihat Shahih Muslim (1/536-537).

Jelaslah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat selama tiga malam pada bulan Ramadhan, dan tidak pada malam ke empat, sebagaimana dalam Shahih Bukhari [14]. Lihat Al Fath (4/253) dan Muslim (1/524).

Begitu pula, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya ketika Ramadhan tersisa 7 hari sampai 1/3 malam, pada malam kedua sampai ½ malam, dan pada malam ketiga sampai mereka (khawatir) tidak bisa sahur. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan ulama penyusun kitab Sunan. Menurut para ulama penyusun kitab Sunan, perawinya adalah shahih, sebagaimana disebutkan di dalam Nailul Authar.

Perbuatan memanjangkan inilah yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih dari kalangan para sahabat dan tabi’in, sebagaimana diterangkan dalam kitab Muwattha’, karya Imam Malik. Lihat Syarah Az Zarqani (1/238-240).

Beda antara hadits ini (yaitu tentang memanjangkan bacaan) dengan hadits Muadz Radhiyallahu 'anhu tentang larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Mu’adz Radhiyallahu 'anhu dari memanjangkan bacaan (yang dimaksud dengan memanjangkan disini adalah melebihkan dari yang diterangkan dalam sunnah), yaitu hadits memanjangkan ini untuk shalat nafilah (hukumnya sunat) yang diperbolehkan bagi orang untuk tidak ikut berjama’ah dan meninggalkannya. Sedangkan hadits Mu’adz (tentang larangan memanjangkan bacaan) itu pada shalat fardhu yang tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk meninggalkan jama’ah dan mufaraqah (keluar) dari jama’ah, kecuali dengan alas an syar’i. Jadi mereka wajib meniatkannya dan menyempurnakannya. [Lihat Majmu’ Fatawa, hlm. 257-258].

Kesimpulan, kedua hadits itu tidak bertentangan.

Demikianlah beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat tarawih. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

[Diangkat dari Majmu’ Fatawa Wa Rasail, 14/210-211]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 07/Tahun VIII/1425/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]

_______

Footnote

[1]. Muttafaq ‘alaih, dari hadits Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Al Iman, Bab: Tathawu’ Qiyami Ramadhan Min Al Iman, no. 37 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab: At Targhibu Fi Qiyami Ramadhan, no. 173 (759).

[2]. Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab: Tahridhu An Nabi ‘Ala Shalat Al Lail, no. 1.129 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab: At Targhibu Fi Qiyami Ramadhan, no. 177 (761).

[3]. HR Baihaqi dalam kitab Ash Shalat, Bab: 'Adadu Raka'ati Al Qiyam … 2/496. Lihat At Talkhish Al Habir, 2/45 (541) dan perhatikan hlm. 246.

[4]. Muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab Tahridhu An Nabi ‘Ala Shalat Al Lail, no. 1.129 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab At Targhibu Fi Qiyami Ramadhan, no. 177 (761).

[5]. HR Muslim dalam kitab Al Jum’ah, Bab: Takhfifu Ash Shalati Wa Al Khutbati, no. 867.

[6]. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam Al Fath (5/37),"Ini diriwayatkan oleh Al Kalbi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas … Meskipun sanadnya lemah, tetapi menjadi kuat dengan jalur Mujahid." Lihat jilid 10/741 dari Majmu’ Fatawa Wa Rasail.

[7]. Diriwayatkanoleh Abu Dawud dalam As Sunnah, Bab: Luzumus Sunnah, no. 4.607.

[8]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Manakib Abu Bakar dan Manakib Umar Radhiyallahu 'anhuma, no. 3.662.

[9]. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Manakib Umar c , no. 3.672, dan ia mengatakan hadits ini hasan.

[10]. Diriwayatkan Imam bukhari dalam Fadhailu Ashabi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Bab: Manakib Umar, no. 3.679 dari hadits Abu Hurairah dan Imam Muslim dalam Fadhailush Shahabat, Bab: Fadhail Umar dari hadits Aisyah, no. 2.398.

[11]. Dalam kitab Ash Shalat, Bab: Ma Ja’a Fi Qiyami Ramadhan, 1/110 (280).

[12]. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab: Thulu Al Qiyam Fi Shalat Al Lail, no. 1.135 dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shalat Musafirin, Bab: Istihbab Tathwili Al Qira’ah Fi Shalat Al Lail, 204 (773).

[13]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

[14]. Muttafaqun ‘alaihi, dari hadits Aisyah, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam At Tahajjud, Bab: Tahridhu An Nabi ‘Ala Shalat Al Lail, no. 1.129 dan Muslim dalam Shalat Al Musafirin, Bab At Targhibu Fi Qiyami Ramadhan, no. 177 (761).


Pengembara Senja ; berkata ibnu taimiyah :
Yang benar adalah bahwa semuanya (berapa saja jumlah rakaat) itu BAIK sebagaimana yang dikatakan Imam Ahmad rad an bahwasanya shalat tarawih tidak tergantung pada bilangan tertentu karena Nabi tidak menentukan baginya jumlah tertentu maka oleh karena itu memperbanyak atau mengurangi rakaat itu tergantung panjang dan pendeknya berdiri.. (Fatawa alkubra juz 2 hal 243)

Minggu, 13 November 2011

Cara Pelaksanaan Jenazah

Ringkasan Cara Pelaksanaan Jenazah [Beberapa Kesalahan Yang Bertentangan Dengan Syari'at]

oleh Abu Warda pada 13 November 2011 jam 5:33

Kategori Fiqih : Jenazah & Maut

Kamis, 1 April 2004 10:03:12 WIB

RINGKASAN CARA PELAKSANAAN JENAZAH


Oleh

Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

Bagian Terakhir dari Lima Tulisan [5/5]

Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id

بسم الله الرحمن الرحيم

[Tulisan ini hanya ringkasan dan tidak memuat dalil-dalil semua permasalahan secara terperinci. Maka barangsiapa di antara pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalil setiap pembahasan dipersilahkan membaca kitab aslinya "Ahkamul Janaaiz wa Bid'ihaa" karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah]

XVII BEBERAPA KESALAHAN YANG BERTENTANGAN DENGAN SYARI'AT

Banyak orang awam, terlebih lagi yang membesar-besarkan para Syaikh, melakukan banyak kesalahan yang bertentangan dengan syari'at, khususnya yang menyangkut jenazah dan hukum-hukum pelaksanaannya (sebagian sudah disebutkan). Mereka menyangka hal itu bersumber dari agama Islam, padahal tidak, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau karena memang tidak ada dalilnya atau karena berasal dari adat kebiasaan orang-orang kafir, atau tidak sah dalilnya, yang mana semua sebab tadi tidak samar bagi orang yang menuntut ilmu dan konsekwen, diantaranya

[1] Membaca surah (Yaa Siin) untuk orang yang sakaratul maut

[2] Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke kiblat

[3] Memasukkan kapas di pantat mayyit, tenggorokan serta hidungnya

[4] Keluarga mayyit tidak makan sampai mereka selesai menguburkan

[5] Mereka memanjangkan jenggot sebagai tanda sedih terhadap mayyit, kemudian dicukur lagi

[6] Mengumumkan berita kematian lewat menara-menara

[7] Mereka membaca saat seorang memberitakan kematian : Al-Fatihah 'ala ruuh....

[8] Yang memandikan mayat membaca bacaan tertentu saat membasuh setiap anggota tubuh mayat

[9] Mengeraskan dzikir saat memandikan mayat atau saat mengantar jenazah

[10] Menghias jenazah

[11] Meletakkan selendang di atas keranda

[12] Keyakinan bahwa jika mayat baik maka jenazahnya ringan dibawa, sebaliknya jika jahat maka jenazahnya berat

[13] Pelan-pelan dalam membawa jenazah

[14] Mengangkat suara saat menghadiri jenazah, atau sibuk bercanda dengan orang lain

[15] Memuji-muji jenazah saat menghadirinya di masjid sebelum di shalati atau sesudahnya, begitu pula sebelum dan menjelang pemakaman

[16] Kebiasaan membawa jenazah dengan memakai mobil, serta mengantar dengan memakai mobil

[17] Shalat ghaib, padahal sudah diketahui bahwa sudah dishalati di tempat meninggalnya

[18] Imam berdiri lurus pada posisi tengah mayat laki-laki, atau posisi lurus dengan dada mayat wanita

[19] Setelah shalat jenazah , ada yang bertanya dengan suara yang keras : "Bagaimana kesaksian kalian terhadap si mayyit ini ?" Lalu para hadirin menjawab : "Dia adalah orang shaleh".

[20] Sengaja memasukkan mayyit dari arah liang kubur

[21] Menyebar pasir di bawah mayat tanpa ada alasan daurat

[22] Memercikkan bantal untuk mayyit atau jenis lain di bawah kepalanya di dalam liang kubur

[23] Memakaikan air kembang ke mayat di dalam kuburnya

[24] Talqin dengan kata-kata : "Wahai fulan ....." jika datang kepadamu dua malaikat .... dst

[25] Takziyah di kuburan, dengan cara berdiri berbaris-baris

[26] Berkumpul pada suatu tempat untuk bertakziyah

[27] Membatasi takziyah dengan tiga hari

[28] Bertakziyah dengan kata-kata : "Semoga Allah memperbanyak pahalamu" sebagai prasangka bahwa cara itu yang ada sunnahnya, padahal itu tidak ada dalam sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

[29] Penyiapan hidangan makanan dari keluarga mayyit di beberapa hari tertentu

[30] Membuat makanan tertentu atau membelinya pada hari ke tujuh

[31] Keluar pagi-pagi menuju ke mayyit yang telah mereka kuburkan kemarin, bersama kerabat keluarga dan teman-teman

[32] Merayakan pujian untuk mayyit pada malam ke empat puluh, atau setahun setelah meninggal. [Abdur Razzaq Naufal dalam kitabnya Al-Hayaat Al-Ukhraa hal. 156 berkata : "Sesungguhnya peringatan ke empat puluh ini berasal dari adat raja-raja Fir'aun, sebab mereka sibuk dengan pengawetan mayat, persiapan serta perjalanan ke kuburan selama empat puluh hari, lalu setelah itu mereka menjadikan perayaan pemakaman]

[33] Menggali kubur sebelum wafat sebagai tanda kesiapan mati

[34] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Idul Fitri

[35] Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Senin dan Kamis

[36] Membaca Al-Fatihah atau Yaa Siin di kuburan

[37] Mengirim salam kepada para nabi melalui mayat yang di ziarahi di kuburan

[38] Menghadiahkan pahala ibadah seperti shalat dan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang muslim yang sudah mati

[39] Menghadiahkan pahala amalan-amalan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

[40] Memberikan gaji kepada orang yang membaca Al-Qur'an dan menghadiahkannya untuk mayyit

[41] Pendapat mereka : Bahwa do'a di sekitar kubur para nabi dan orang-orang shalih mustajab (dikabulkan)

[42] Menghiasi kubur

[43] Bergantung di kubur nabi dan menciumnya

[44] Bertawaf (berkeliling) di kubur para nabi dan orang-orang shalih. [Sebagaimana yang dilakukan orang-orang jahil di sebagian negara Islam seperti : Mesir, sayang sekali mereka menemukan orang yang memfatwakan kepada mereka bolehnya hal itu, yaitu dari kesesatan para syaikh-syaikh bid'ah]

[45] Meminta pertolongan dari mayyit, atau meminta doanya

[46] Mempertinggi dan membangun kubur

[47] Menulis nama mayyit serta tanggal wafatnya di atas kubur

[48] Menguburkan mayyit di masjid, atau membangun masjid di atas kubur

[49] Sengaja bepergian jauh untuk berziarah ke kubur para nabi

[50] Mengirim tulisan yang berisi permohonan hajat kepada nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat berziarah

[51] Anggapan mereka : "Bahwa tidak ada perbedaan antara semasa hidup dan sesudah mati nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menyaksikan ummatnya, serta mengetahui keadaan dan urusan mereka.Demikianlah yang dapat saya ikhtisarkan tentang hukum jenazah di dalam fiqh Islami, Alhamdulillah atas petunjuk-Nya

[Disalin dari kitab Muhtasar Kiatab Ahkaamul Janaaiz wa Bid'auha, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, diringkas oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan diterjemahkan oleh Muhammad Dahri Komaruddin]

Minggu, 30 Oktober 2011

gelombang cinta

Tentang Adenium

Tanaman adenium dikenal karena keindahan daun dan bunganya. Tapi seringkali ia tak mau berbunga. Bagaimana mengatasi bunga adenium yang kusam dan daunnya layu?

Selidik punya selidik, tanaman adenium itu ternyata sedang ‘sakit’. Terjadi ketidakseimbangan antara pertumbuhan tanaman dengan kondisi ruang lingkungan pot yang ada.
Akar-akarnya sudah semakin besar dan lebat, batangnya juga makin membesar, sementara kondisi ruang gerak-hidup dan ketersediaan nutrisi amat terbatas. Akar-akar tadi telah memenuhi bagian atas media. Kalau sudah begitu, ujung-ujung adenium akan mogok berbunga. Daunnya pun tak lagi hijau segar. Terjadilah persaingan, berebut hara, berebut ruang gerak-hidup, dan berebut sinar matahari. Akhirnya jumlah daun makin sedikit, tumbuhnya lambat, layu, dan akhirnya menguning.
Pertumbuhan tunas dan cabang juga jadi lambat. Yang lebih parah, bunga ngambek, tak mau lagi muncul. Meski pemupukan rajin dilakukan, namun media tanam yang sudah ‘tua’, katakan saja lebih 2 tahun, membuatnya tak layak lagi mengolah nutrisi. Pendek kata, media tanamnya sudah rusak. Jadi, dipupuk dengan pupuk apa saja dan sebanyak apa pun, tidak akan menyuburkan tanaman.
Solusinya, media tanam itu perlu diganti. Lakukan repotting, ganti pot lama dengan pot baru, termasuk media tanamnya.

Berikut cara melakukan repotting adenium :
1. Siapkan Pot Baru.
Pilih pot baru dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan pot lama. Jangan lupa untuk memilih ‘pot bonsai’ agar bonggol adenium terlihat indah di atas media. Bentuk pot ada yang bundar, ada pula yang oval. Perhatikan jarak antara bibir pot dengan pangkal batang, yang ideal sekitar 8 - 10 cm. Dengan jarak selebar itu, di samping gerakan akar lebih leluasa, juga lebih indah dipandang.
2. Ganti Media Tanam.
Adenium termasuk tanaman zerofit. Artinya, cocok hidup di daerah kering. Untuk itu, ia membutuhkan media yang berongga (porous). Itu berarti, adenium tak menyenangi media yang kuat mengikat air. Bisa-bisa akarnya malah membusuk. Jadi, gunakan media porous antara lain cocopeat (serbuk sabut kelapa), arang sekam padi, pasir kasar, pecahan arang kayu, pecahan batu apung, dan pupuk kompos atau pupuk kandang yang sudah matang. Tersedia sekurang-kurangnya 3 pilihan media sebagai berikut : (a) Campuran pecahan batu apung berdiameter 0,25-0,50 cm, lalu arang sekam, dan kompos atau pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1, (b) Campuran pasir kasar, arang sekam, dan kompos atau pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1; dan (c) Campuran pasir kasar, cocopeat dan kompos atau pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1.
Jangan lupa, dasar pot diberi arang kayu kira-kira seperempat tinggi pot agar air tidak mampat. Barulah kemudian media tanam dimasukkan ke dalam pot baru hingga memenuhi setengah dari tinggi pot.
3. Keluarkan dari Pot Lama
Keluarkan tanaman adenium dari dalam pot lama. Caranya, siramlah tanaman, lalu dinding pot diketuk-ketuk melingkar. Setelah itu, jungkirkan posisinya sembari menahan tanaman. Yang penting, jaga jangan sampai tanaman rusak, misalnya akar terputus.
Siram akar-akarnya hingga tanah yang menempel jadi larut. Lalu, potong akar-akar yang sudah tua, tapi sisakan sekitar 2 - 3 cm. Gunakan gunting tajam agar tidak mengotak jaringan akarnya.
4. Rendam Pestisida
Akar yang sebagian dipotong, tentu akan meninmbulkan luka. Dari luka itulah ada kemungkinan akan memicu tumbuhnya jamur. Jadi, bagian akar dan bonggol tanaman tersebut direndam dalam pestisida guna menolak datangnya jamur. Misalnya dengan pestisida Agrimex, Mansote, atau Dagonil. Perendaman cukup 15 menit.
5. Tanam Pot Baru
Sesudah direndam pestisida, batang adenium diangkat, lantas dimasukkan ke dalam pot baru yang telah disiapkan. Tutup dengan media tanam yang masih tersisa hingga setinggi leher pot. Berikutnya, tanaman adenium disiram air bersih.
Usai repotting, tanaman adenium sebaiknya diletakkan di tempat teduh dan terlindung dari hujan. Pasalnya, adenium yang baru direpotting biasanya cukup rentan terhadap perubahan cuaca. Setelah sekitar 2 minggu, adenium boleh diletakkan di tempat yang terbuka atau panas.

Tanaman Anthurium

Anthurium adalah tanaman hias tropis, memiliki daya tarik tinggi sebagai penghias ruangan, karena bentuk daun dan bunganya yang indah, Anthurium yang berdaun indah adalah asli Indonesia, sedangkan yang untuk bunga potong berasal dari Eropa.
Di Indonesia tidak kurang terdapat 7 jenis anthurium, yaitu Anthurium cyrstalinum (kuping gajah), Anthurium pedatoradiatum (wali songo), Anthurium andreanum, Anthurium rafidooa, Anthurium hibridum (lidah gajah), Anthurium makrolobum dan Anthurium scherzerianum.

Perbanyakan
Anthurium dapat diperbanyak dengan 2 cara, yaitu generatif (biji) dan vegetatif (stek).
1. Perbanyakan dengan cara generatif (biji)
Tanaman anthurium memiliki 2 macam bunga (Gambar 1) yaitu bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan ditandai oleh adanya benang sari, sedangkan bunga betina ditandai oleh adanya lendir. Biji diperoleh dengan menyilangkan bunga jantan dan bunga betina.
Dengan menggunakan jentik, bunga sari diambil dan dioleskan sampai rata di bagian lendir pada bunga betina. Sekitar 2 bulan kemudian, bunga yang dihasilkan sudah masak, di dalamnya terdapat banyak biji anthurium. Biji-biji tersebut di kupas, dicuci sampai bersih dan diangin-anginkan, kemudian ditabur pada medium tanah halus. Persemaian ditempatkan pada kondisi lembab dan selalu disiram.
2. Perbanyakan dengan cara vegetatif (stek)
Ada 2 cara perbanyakan secara vegetatif, yaitu stek batang dan stek mata tunas. Cara perbanyakan dengan stek batang adalah memotong bagian atas tanaman (batang) dengan menyertakan 1 - 3 akar, bagian atas tanaman ‘yang telah dipotong kemudian ditanam, pada medium tumbuh yang telah disiapkan. Sebaliknya perbanyakan dengan mata tunas adalah mengambil satu mata pada cabang, kemudian menanam mata tunas pada medium tumbuh yang telah disiapkan.

Penyiapan Medium Tumbuh
Berdasarkan kegunaannya, medium tumbuh dibagi menjadi 2 macam, yaitu medium tumbuh untuk persemaian dan untuk tanaman dewasa. Medium tumbuh terdiri dari campuran humus, pupuk kandang dan pasir kali. Humus atau tanah hutan dan pupuk kandang yang sudah jadi di ayak dengan ukuran ayakan 1 cm, sedangkan pasir kali di ayak dengan ukuran ayakan 3 mm.
Humus, pupuk kandang dan pasir kali yang telah di ayak, dicampur dengan perbandingan 5 : 5 : 2. Untuk persemaian, medium tumbuh perlu disterilkan dengan cara mengukus selama satu jam.

Penyiapan Pot
Untuk menanam bunga anthurium, dapat digunakan pot tanah, pot plastik atau pot straso. Pot yang paling baik adalah pot tanah karena memiliki banyak pori-pori yang dapat meresap udara dari luar pot. Apabila digunakan pot yang masih baru, pot perlu direndam dalam air selama 10 menit. Bagian bawah pot diberi pecahan genting/pot yang melengkung, kemudian di atasnya diberi pecahan batu merah setebal 1/4 tinggi pot. Medium tumbuh berupa campuran humus, pupuk kandang dan pasir kali dimasukkan dalam pot

Pemeliharaan
Setelah tanam, tanaman dipelihara dengan menyiram 1 - 2 kali sehari. Daun yang sudah tua atau rusak karena hama dan penyakit, dipotong agar tanaman tampak bersih dan menarik. Sebaiknya tanaman ini dipelihara di tempat teduh karena tanaman tidak tahan sinar matahari langsung.

Senin, 22 Oktober 2007

Apa itu gelombang cinta

GELOMBANG CINTA: Irasionalitas Pecinta Tanaman Hias

Harga beberapa jenis tanaman hias makin menggila. Ajang pameran dan berita media makin menambah heboh kompetisi harga berbagai jenis tanaman hias yang, jujur, tidak jelas benar apa manfaatnya. Sampai saat ini banyak orang yang rela mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit nominalnya untuk membeli sebuah tanamn hias yang berada dalam sebuah pot. Dengan nominal yang tidak kecil itu, mengakibatkan sang pemilik pun akan lebih fokus dan hati-hati dalam merawat tanaman itu. Tersiar kabar bahwa ada jenis tanaman hias yang sudah ditawar Rp. 1 milyar oleh seorang kolektor, tetapi belum dilepas oleh pemiliknya.


Contohnya tanaman gelombang cinta seperti foto diatas, yang sedang populer dikalangan luas. Jadi tanaman ini bisa menyita waktu kita untuk merawatnya. Kita pun harus teliti dan sabar dalam mengembang biakkan tanaman ini. Harga tanaman ini pun cukup miring, bisa sampai berjuta-juta. Bagi orang yang tidak suka terhadap tanaman, pasti dia akan berpikir bahwa "mengapa orang mau membeli tanaman yang harganya sangat mahal, padahal masih banyak tanaman hias yang lebih murah. Kan sama-sama tanamankan???", tapi untuk para pecinta/kolektor tanaman sejumlah uang itu tidak berarti karena hobi dan kecintaanya terhadap tanaman

Kamis, 20 Oktober 2011

Ir. MS Budaya, MM dan Keluarga

Nama Isteri Nenny Isnaeni
Nama Anak, Mantu dan cucu
1. Ir. Irzan Aslam, Mantu Nita Anggrani, Cucu Ical
2. Sophia Fitriyani, AmdPsT, Mantu Ir. Ahmad Lilik, Cucu : Zaky dan Nasya
3. Rido Aliga Mukhtarram, sekolah SMK Panca Karya program MM
4 Gusti Imam Maula Akbar, sekolah SMK Yupentek 1 progran jurusan Mesin

Minggu, 16 Oktober 2011

Sabtu, 15 Oktober 2011

KEKUATAN ENERGI SHOLAT

KEKUATAN ENERGI SHOLAT

Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS. Ali Imran: 96)

Kita mungkin pernah bertanya kenapa harus solat menghadap Kiblat, juga kenapa harus ada Ibadah Thawaf, Ini juga sering jadi perenungan manusia, seperti ini :

1. Ketika mempelajari Kaidah Tangan Kanan (Hukum Alam), bahwa putaran energi kalau bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, maka arah energi akan naik ke atas akan naik ke atas. Arah ditunjukkan arah 4 jari, dan arah ke atas ditunjukkan oleh Arah Jempol.



2. Dengan pola ibadah thawaf dimana bergerak dengan jalan berputar harus berlawanan jarum jam, ini menimbulkan pertanyaan, kenapa tidak boleh terbalik arah, searah jarum jam misalnya.

3. Kenapa Solat harus menghadap Kiblat, termasuk dianjurkan berdoa dan pemakaman menghadap Kiblat

4. Kenapa Solat Di Masjidil Haram menurut Hadist nilainya 100.000 kali dari di tempat sendiri.

5. Singgasana Tuhan ada di Langit Tertinggi

Perenungan Sintesa :

1. Energi Solat dan Doa dari individu atau jamaah seluruh dunia terkumpul dan terakumulasi di Kabah setiap saat, karena Bumi berputar sehingga solat dari seluruh Dunia tidak terhenti dalam 24 jam, misal orang Bandung solat Dzuhur, beberapa menit kemudian orang Jakarta Dzuhur, beberapa menit kemudian Serang Dzuhur, Lampung dan seterusnya. Belum selesai Dzuhur di India Pakistan, di Makasar sudah mulai Ashar dan seterusnya. Pada saat Dzuhur di Jakarta di London Sholat Subuh dan seterusnya 24 jam setiap hari, minggu, bulan, tahun dan seterusnya.

2. Energi yang terakumulasi, berlapis dan bertumpuk akan diputar dengan generator orang-orang yang bertawaf yang berputar secara berlawanan arah jarum jam yang dilakukan jamaah Makah sekitarnya dan Jamaah Umroh / Haji yang dalam 1 hari tidak ditentukan waktunya.

3. Maka menurut implikasi hukum Kaidah Tangan Kanan bahwa Energi yang terkumpul akan diputar dengan Tawaf dan hasilnya kumpulan energi tadi arahnya akan ke atas MENUJU LANGIT. Jadi Sedikit terjawab bahwa energi itu tidak berhenti di Kabah namun semuanya naik ke Langit. Sebagai satu cerobong yang di mulai dari Kabah. Menuju Langit mana atau koordinat mana itu masih belum nyampe pikiran saya. Yang jelas pasti Tuhan telah membuat saluran agar solat dan doa dalam bentuk energi tadi agar sampai Ke Hadirat Nya. Jadi selama 24 Jam sehari terpancar cerobong Energi yang terfokus naik ke atas Langit. Selamanya sampai tidak ada manusia yang solat dan tawaf (kiamat?).



Kesimpulan

1. Solat dan Doa, diyakini akan sampai ke langit menuju Singgasana Tuhan selama memenuhi kira-kira persyaratan uraian di atas dengan sintesa (gabungan/Ekstrasi) renungan hukum agama dan hukum alam, karena dua-duanya ciptaan Tuhan juga. Jadi hendaknya ilmuwan dan agamawan bersinergi/ saling mendukung untuk mencapai kemaslahatan yang lebih luas dan pemahaman agama yang dapat diterima lahir batin

2. Memantapkan kita dalam beribadah solat khususnya dan menggiatkan diri untuk selalu on-line 24 jam dengan Tuhan, sehingga jiwa akan selalu terjaga dan membuahkan segala jenis kebaikan yang dilakukan dengan senang hati (iklas).

3. Terjawablah jika sholat itu tidak menyembah batu (Kabah) seperti yang dituduhkan kaum orientalis, tapi menggunakan perangkat alam untuk menyatukan energi solat dan doa untuk mencapai Tuhan dengan upaya natural manusia.

4. Tuhan Maha Pandai, Maha Besar dan Maha Segalanya

Ini sekedar renungan dan analisa , semoga saja mampu memotivasi kita dan para Pakar untuk memicu pemikiran, penelitian lebih dalam untuk lebih mempertebal keimanan dan menjadi saksi bahwa Tuhan menciptakan semesta dengan penuh kesempurnaan tidak dengan main-main (asal jadi) sehingga makin yakin dan cinta pada Tuhan Yang Maha Esa. Mungkin renungan ini berlebihan dan berfantasi, tapi sedikitnya ini pendekatan yang mampu menjawab pertanyaan sebagaimana di atas dan tidak bertentangan dengan Kitab Suci dan Hadist bahkan mendukungnya. Semoga bermanfaat...

Ramalan Untuk Memastikan Bahwa Ka'bah Dan Kiamat hanya Allah Yang Tahu :

1. Ka'bah Akan Hancur Dengan Sendirinya (Terbukti dengan ditenggelamkannya satu pasukan yang akan menyerang ka'bah suatu hari nanti)

2. Jika Pusat Bumi Bergeser Akan Banyak Kekacauan (seperti Musim Yang tidak Mengenal waktu)

3. Kiamat Akan Cepat Terjadi Jika Sholat Sudah Ditinggalkan

4. Anda Pasti Juga pernah mendengar jika Siapa Yang Meninggalkan sholat berarti telah merobohkan Agama.


Kamis, 13 Oktober 2011

Tubagus Muhammad Athif bin Sultan Ageng Tirtayasa

Tubagus Muhammad Athif bin Sultan Ageng Tirtayasa (di Serpong, Tangerang)

Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa

Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang di antara putra Sul-tan Abdul ma’ali Achmad dan perkawinannya dengan Ratu Mar-takusuma, seperti diketahui Sultan Abdul Ma’ali Achmad adalah putra Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang memenintah Banten 1596-1651. Dan catatan sejarah diketahui bahwa Ratu Martakusuma adalah seorang putri dan Pangeran Jakarta Wijayakrama. Pada waktu muda ia bergelar Pangeran Surya, adapun saudara seayah dan seibu dan Pangeran Surya adalah Ratu Kulon, Pangeran Kulon, Pangeran Lor dan Pangeran Raja. Adapun saudara-saudara yang seayah saja ialah Pangeran Wetan, Pangeran Kidul dan Ratu Tinumpuk.

Setelah Pangeran Surya itu diangkat oleh kakeknya sebagai Sultan Muda pengganti ayahnya yang wafat, maka ia diberi gelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Pangeran Ratu diangkat menjadi Sultan pengganti kakeknya yang bernama Abdul Mafakir Mahmud Abdul Kadir (Uka Tjandrasasmita. 1967:8). Sejak ia memegang tampuk pemerintahan serta sudah niendapat restu dan Mekkah, ia mendapat gelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah. Di antara isteri-isteri yang disebut-sebut dalam cerita sejarah Banten ialah Nyai Gede Ayu dan Ratu Nengah. Nyai Gede Ayu adalah putri seorang ponggawa yang karena amat cantiknya dapat inenarik perhatian Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Perkawinan dengan Ratu Ayu tersebut di-lakukan setelah isteri pertamanya meninggal yang dalam seja-rah Banten tidak disebutkan namanya. Di antara putra-putra Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah yang mencapai usia dewasa ialah Pangeran Purbaya dan Pangeran Gusti yang juga dikenal kelak dengan julukan Sultan Haji (Michrob, Halwany, dkk.1990).

Sejak Sultan Abul Fathi Abdul Fattah bertentangan dengan putranya yang bernama Sultan Haji atau Abu Nas’r Abdul Kohar itu, tatkala beliau telah mengundurkan din dan peme-rintahan sehari-hari, maka ia pergi ke Tirtayasa dan men-dirikan keraton yang baru di tempat itu. Sejak bersemayam di tempat mi ia dikenal dengan julukan Sultan Ageng Tintayasa, julukan inilah yang paling dikenal hingga kini di kalangan bang-sa asing, sebagaimana ternyata dan catatan-catatan sejarahnya
(Tjandrasasmita, 1967:9).

Sultan Abdul Mafakhin Abdul Kadir wafat pada tahun 1651 dan dibenitakan pula oleh cucunya itu kepada penguasa di Mek-kah. Untuk mempersiapkan utusan persahabatan itu, diperin-tahkan Mangkubumi Pangeran Mandura mengkabarkannya kepada Arya Mangunjaya, Mas Dipaningrat dan setiap warga. Mangkubumi memberitahukan kepada mereka bahwa sultan bermaksud menginimkan utusan ke Mekkah yaitu Santni Betot dengan tujuh orang lainnya. Utusan tensebut kecuali untuk me-nyampaikan surat benita wafat kakeknya, juga berniat mernperkokoh kedudukannya sebagai Sultan pengganti. Selang beberapa waktu lamanya maka utusan dan Banten sudah sam-pai dan kemudian kembali dan Mekkah. Utusan dan Mekkah sendiri yang datang bersama utusan Banten tendiri dan Sayid Au, Abdul Nabi, dan Haji Salim. Mereka itu kecuali membawa bingkisan juga membawa pesan untuk memberi gelar Sultan yang lengkapnya adalah: Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Sikap waspada terhadap musuh senantiasa jadi pedoman bagi Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Sikap tidak mau tunduk begitu saja terhadap kompeni Belanda tenlihat nyata dan usaha-usahanya melancarkan garilya-gerilya terutama di daerah Angke Tangerang yang sejak lama merupakan front terdepan, bahkan menurut berita dan kompeni Belanda sendiri Sultan.

Banten pada sekitar 1652 mengirimkan sejumlah besar tentaranya untuk mengadakan penyerangan terhadap kompeni Belanda di Jakarta. Memang benar Sultan Ageng Tirtayasa sejak memegang tampuk pemerintahan sebagai Sultan Banten sening menginimkan sejumlah besar tentaranya di daratan maupun di lautan untuk mangganggu kompeni. Peristiwa-peristiwa yang kecil-kecil selalu tenjadi di berbagai front tempat kedua belah pihak bertemu. Dengan demikian pihak kompeni Belanda mulai merasa khawatir, lebih-lebih perjanjian antara Jakarta dengan Banten yang dibuat awal bulan September 1645 yang hanus diperbarui masih menunjukkan tanda-tanda kegagalan dalam pembaruannya. Karena Banten terus melancankan gerilyanya, maka oleh kompeni Belanda dijawab dengan blokade pelabuhan-pelabuhan yang termasuk kesultanan Banten. Pada masa itu kapal-kapal asing lainnya yang hendak berdagang dan masuk di Banten terpaksa mengarahkan haluannya ke negara-negara lain. Sebaliknya, putranya yang bernama Sultan Abu Nas’r Abdul Kahar atau Sultan Haji berbeda haluan dan mudah dipengaruhi oleh kompeni Belanda sehingga kemerdekaan Ban-ten dikorbankannya.
(Michrob, Haiwany. 1992)

Keraton yang terletak di Tirtayasa itu letaknya amat strategis balk untuk perlawanan di lautan maupun di daratan karena tempat itu kecuali terletak di tepi pantai juga tenletak di jalan kuno yang dapat dipergunakan untuk manghubungkan serta mempercepat bantuan tentara-tentara yang dengan mudah mencapai daerah Jakarta. Dan Tirtayasa itulah Sultan Ageng Tirtayasa marencanakan dan melaksanakan pemba-ngunan di bidang pertanian dan pengairan.

Saluran yang mudah dilayari perahu-perahu kecil digali se-panjangjalan kuno, yakni dan sungai Untung Jawa (Cisadane), Tanara hingga ke Pontang. Diakui pula oleh Gubernur Jenderal John Maestsuyker dan Dewan Hindia bahwa pembuatan saluran air itu adalah untuk dipergunakan sewaktu-waktu untuk perjanjian, pengiriman utusan-utusan dan sebagainya. Karena kesibukan sehari-hari sudah kurang maka Sultan Ageng mulai bertempat tinggal tetap di keraton Tirtayasa. Sebenarnya dan tempat itu pula ia dapat mengawasi gerak-gerik putranya yang inemegang tampuk pemerintahan sehari-hari di Surosowan. Karena memang kekuasaan kesultanan Banten masih ada pada tangan Sultan Ageng Tirtayasa selaku Sultan tua. Keadaan mi pulalah yang digunakan untuk menghasut Sul-tan Haji supaya menentang kebijaksanaan ayahnya, dan men-dorong Sultan Haji untuk segera memperoleh kekuasaan penuh di Banten karena memang Sultan Haji sangat berkeinginan untuk itu.

Satu hal pula yang mengecewakan Sultan Ageng Tirtayasa, adalah surat ucapan selamat yang dikirimkan Sultan Haji atas, diangkatnya kembali Speelman menjadi Gubernur Jenderal VOC menggantikan Rijklof van Goens pada tanggal 25 Novem-ber 1680. Padahal pada saat itu Kompeni baru saja manghan-curkan pasukan gerilya Banten di Cirebon dan yang kemudian menguasai Cirebon seluruhnya.

Melihat keadaan anaknya yang sudah demikian itu, Sultan Ageng memobilisasikan pasukan perangnya untuk digunakan sewaktu-waktu. Rakyat dan daerah Tanahara, Pontang, Tir-tayasa, Caringin, Carita dan sebagainya banyak yang mendaf-tarkan din menjadi Prajurit. Demikian pula tentara pelarian dan Makasar, Jawa Timur, Lampung, Solebar, Bengkulu dan Cirebon bergabung dengan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan satu regu pasukan Sultan Haji yang diutus untuk menyelidiki kekuatan di Tirtayasa ikut pula bergabung dengan Sultan Ageng. Sultan sudah tidak perduli lagi dengan tentara dan barigsawan yang berpihak kepada Sultan Haji yang diang-gapnya sudah berpindah adat dan berbeda haluan.
(Ambary, Hasan, dkk. 1992)

Dalam suasana yang sudah demikian panas, Sultan Ageng mendengar khabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dan Jawa Timur ditahan Kompeni karena dianggap kapal perompak. Tuntutan Sultan Ageng supaya mereka dibebaskan tidak diindahkan. Hal mi membuat kemarahan Sultan menjadi-jadi. Rasa harga din sebagai Sultan dan satu negara merdeka tenasa diremehkan. Maka diumumkannya bahwa Banten dan Kompeni Belanda ada dalam situasi perang. Keputusan Sultan Ageng mi ditentang oleh anaknya, Sultan Haji. Dia menyanggah atas dimaklumkannya perang atas Kom-peni Belanda, karena keputusan itu terlalu ceroboh dan tidak dimusyawanahkan terlebih dahulu dengannya. Dengan ben-modalkan dukungan pasukan Kompeni yang dijanjikan pada-nya, Sultan Haji memakzulkan ayahnya. Dikatakannya bahwa ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, sudah terlalu tua dan sudah pikun, sehingga mulai saat itu kekuasaan Banten seluruhnya dipegang oleh Sultan Haji.
(Hamka, 1976:307).

Melihat tingkah-laku anaknya itu dan juga untuk menyatukan kekuatan pasukan Banten guna menyerbu Batavia, maka pada tanggal 26 malam 27 Februari 1682 dengan dipimpin sendini oleh Sultan Ageng, diadakanlah penyerbuan ke Surosowan. Panyerbuan mendadak mi berhasil mematahkan pelawanan pasukan Sultan Haji yang dalam waktu singkat is-tana dapat dikuasainya. Sultan Haji sendiri melarikan din dan minta perlindungan kepada Jacon de Roy bekas pegawai Kom-peni (Tjandrasasmita, 1967:41)

Keadaan mi segera dapat diketahui Batavia. Maka pada tanggal 6 Maret 1682 dipimpin olëh Sam Martin dikirimkannya dua kapal perang lengkap dengan pasukan perangnya. Akhirnya setelah terjadi pentempuran yang lama dan dibantu pula oleh pasukan besar yang dipimpin oleh Kapten Francois Tack dan Kapten Hartsinck, Surosoan dapat dikuasai Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa dengan sisa pasukannya bergerak munidur ke Kademangan dan Tanahara. Baru pada tanggal 28-29 Desemben 1882 Tanahara pun dapat direbut pasukan Kompeni yang dipim-5 pin oleh Kapten Jonker. Demikian pulalah dengan Tirtayasa se-bagai pentahanan terakhin pasukan Sultan Ageng. Atas penintah Sultan Ageng, selunuh pasukan yang masih ada diharuskan mundur ke anah selatan ke hutan Keranggan. Tapi sebelumnya Sultan memenintahkan pula supaya istana dan bangunan lainnya di Tintayasa dibakar. Sultan tidak rela ha-ngunan-bangunan itu diinjak oleh kafin dan pendunhaka. (Tjandrasasmita, 1987:44)

Dan hutan Keranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan seluruh pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Satu tahun me-neka melakukan perang genilya dan sana. Tetapi akhinnya Lebak pun dikepung, sehiagga pasukan Sultan Ageng tenpecah menjadi dua bagian. Pangeran Purbaya dan sejumlah ten-taranya bergerak di daerah sekitar Parijan, di pedalaman Tangerang. Sultan Ageng, Pangeran Kidul, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf beserta pasukannya bengenak ke daenah Sajira di perbatasan Bogon.

Sultan Haji berusaha keras agar ayahnya dapat kembali ke Surosowan. Dengan petunjuk serta nasehat kompeni yang ingin melakukan tipu daya halus maka Sultan Haji mengirimkan surat kepada ayahnya di Sajira. Sesudah utusan pembawa surat itu datang di Sajira dan ditenima Sultan Ageng Tirtayasa, de-ngan tidak cuniga sedikit pun Sultan yang kala itu usianya sudah lanjut kembali ke Surosowan setelah ia bertahan di hutan. Tambahan pula seminggu sebelumnya yakni pada tang-gal 7 Maret 1683 Pangeran Kulon gugur ditikam oleh orang upahan kompeni. Sultan Ageng Tirtayasa dengan bebenapa pe-ngawalnya sampailah di Surosowan dan langsung menemui putranya yang telah menantikan kedatangan ayahnya. Peneni-maan Sultan Haji sangat balk meskipun di belakangnya telah ada maksud tertentu atas bujukan kompeni. Kedatangan di Surosowan itu tepat pada tanggal 14 Maret 1683 saat tengah malam. Tetapi setelah beberapa saat Iamanya tinggal di kenaton Surosowan ia ditangkap oleh kompeni untuk segera dibawa ke Jakarta. Memang itulah maksud dan tipu daya kompeni atas kerjasama dengan Sultan Haji. Jika Sultan Ageng Tintayasa dibiarkan berada di Surosowan maka dikhawatinkan oleh kom-peni Belanda akan dapat mempengaruhiSultan Haji yang sudah erat bekerjasama dengan kompeni.

Sultan Ageng Tirtayasa dimasukkan ke dalain penjara ber-benteng dengan penjagaan serdadu kompeni hingga meninggal di penjana pada tahun 1692. Jenazahnya oleh Sultan Abul Mahasin Zainul Abidin (anaknya Sultan Haji) dan tenutama oleh nakyat Banten yang amat mencintainya dan mengakui sebagai pahiawan besan yang dengan gigihnya mempentahankan kemer-dekaan kesultanan Banten yang dimintakan kepada pemerintah tinggi kompeni Belanda untuk dikinimkan kembali. Kemudian dengan upacara keagamaan yang amat mengesankan Ia dimakamkan di samping Sultan-Sultan yang mendahuluinya di sebelah utara Mesjid Agung (Tjandnasasmita, 1967:46).

Sesudah masa Sultan Ageng Tirtayasa adalah menupakan masa sunutnya pengaruh politik kenajaan Banten. Banten telah ada dalam penganuh pengawasan Belanda. Sultan Ageng Tin-tayasa wafat di dalam penjara kompeni Belanda di Jakarta dan dimakamkan sebagai seorang pahlawan besar oleh raja dan rak-yat Banten serta dimakamkan di komplek makarn naja-raja Ban-ten yang terletak di sebelah utara serambi mesjid Agung Banten. Walaupun secara politis kekuasaan kerajaan dan peme-rintahan telah ada di tangan Belanda, namun pe~juangan dan syiar Islam masih tetap diteruskan oleh para pengikut yang setia kepada cita-cita perjuangan Sultan dan para pen-dahulunya. Perjuangan ternyata tidak terhenti walaupun sistem perjuangan yang dipakai sistem penang gerilya.

Ketika Sultan Ageng Tirtayasa wafat atas tipu daya Belan-da dan kerjasama Sultan Haji serta gugurnya Pangeran Kulon, semangat perjuangan menentang dominasi Belanda tidaklah barkurang. Hal mana menjadikan motivasi pejuang yang pro Sultan Ageng Tintayasa semakin meningkat kanena kekuasaan kerajaan Bariten di bawah Sultan Haji telah ada dalam peng-anuh politik Belanda. Jajanan pejuang terdini dan keluarga

kerajaan, pana ulama dan nakyat masih terus berjuang di hutan-hutan menentang kolonialisme Belanda. Tokoh gerilya itu dian-taranya adalah seorang ulama Banten asal Makasar yang diangkat
mufti kenajaan Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa yang bennama Syekh Yusuf.

SILSILAH SULTAN AGENG TIRTAYASA
ABDUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1851-1872)
Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fath ‘Abdul Fattah adalah putna Sultan Abdul Ma’ali Ahmad. Adapun Sultan Ageng Tin-tayasa Abdul Fath’ Abdul Fattah benputra:

1. Sultan Haji *)
2. Pg. Arya Abdul ‘Alim
3. Pg. Arya Ingayudadipuna
4. Pg. Anya Punbaya
5. Pangenan Sugiri
6. Tubagus Rajasuta
7. Tubagus Rajaputna
8. Tubagus Husen
9. Raden Mandaraka
10. Raden Saleh
11. Raden Sum
12. Raden Mesir
13. Reden Muhammad
14. Raden Muhsin
15. Tubagus Wetan
16. Tubagus Muhammad Athif

17. Tubagus Abdul
18. Ratu Baja Mirah
19. Tubagus Kulon
20. Ratu Kidul
21. Ratu Marta
22. Ratu Adi
23. Ratu Uinu
24. Ratu Hadijah
25. Ratu Habibah
26. Ratu Fatimah
27. Ratu Asyiqoh
28. Ratu Nasibah
29. Ratu Ayu

Kamis, 06 Oktober 2011

contoh teks pidato pernikahan (perempuan)

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Salam sejahtera dan salam bahagia kami sampaikan juga kepada hadirin dan hadirat yang beragama lain.

Pertama-tama marilah kita mengucapkan syukur alhamdulillah, atas nikmat dan rahmat-Nya yang dilimpahkan kepada kita semua, sehingga pada malam yang berbahagia ini kita bisa mengadakan silaturahmi, khususnya dalam rangka ikut serta menyaksikan malam resepsi pernikahan putri kami (nama mempelai wanita) dengan putra (nama mempelai pria).

Selanjutnya puja dan puji juga kita sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad junjungan kita, semoga beliau senantiasa di temptakan di sisi Allah SWT sebagai umatnya yang paling mulia. Amin!

Atas nama ayahanda putri tercinta (nama mempelai wanita), yang pada malam hari ini duduk berdampingan dengan sang raja sehari (nama mempelai pria), kami mengucapkan selamat datang kepada rombongan pengantin pria, khususnya selamat datang kepada keluarga besar putra (nama mempelai pria). Semoga itikad baik saudara-saudara itu mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin!

Hadirin yang berbahagia, dengan disaksikan hadirin yang pada malam hari ini ikut berbahagia menyaksikan perkawinan putra berdua, kami atas nama bapak (nama ayah mempelai wanita) sekeluarga, dengan seizin Allah SWT, Insya Allah dengan tulus menerima keluarga besar Bapak (nama ayah mempelai pria) sebagai keluarga sendiri, sekaligus juga tentunya menerima putranda (nama mempelai pria) sebagaimana layaknya putra sendiri. Mudah-mudahan hubungan keluarga ini mendapat berkah dari Allah SWT hingga di akhirat kelak. Amin!

Kepada putranda (nama mempelai pria), sebagai seorang suami tentunya sepenuhnya bertanggung jawab terhadap seorang istri. Oleh sebab itu kami serahkan nanda (nama mmpelai wanita) kepadamu, pergaulilah istrimu sebagaimana engkau menggauli dirimu sendiri, kasihilah istrimu sebagaimana kamu mengasihi dirimu sendiri. Insya Allah hidupmu akan bahagia hingga akhir hayat di kandung badan. Amin!

Hadirin yang kami hormati, atas nama keluarga Besar (nama ayah mmpelai wanita) juga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga, atas ringan kaki, dan berbagai bantuan lainnya, dalam ikut serta berbahagia bersama kami, khususnya dalam rangka ikut mnyaksikan sekaligus memberikan doa restu semoga pengantin yang berbahagia ini senantiasa hidup rukun berdampingan penuh berkah dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pemurah. Amin!

Akhirnya, atas nama Bapak (nama ayah mmpelai wanita) sekeluarga kami mohon maaf, jika ada sesuatu yang kurang berkenan dalam acara resepsi malam ini.

Billahitaufiq walhidayah, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

contoh teks pidato pernikahan

Bismillahi rakhmanirrakhim
Assalamu’alaikum warakhmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillah, dipanjatkan segala puji syukur kehadhirat Allah sabhanahu wataala. Allah yang maha pengasih dan penyayang. Allah yang maha pemurah pencurah rahmah, – maha pencipta kasih sayang. Dengan limpahan rahmatNya jua kita berkumpul disini untuk acara pernikahan ananda tercinta……………. dengan ……… ( nama lengkap ).
Kita ucapkan Shalawat dan salam atas junjungan kita, yang mulia rasulullah Muhammad salallahu alaihi wassalam, para sahabat dan kerabat, para khulafaurrasyidin, para aulia yang membimbing dan memberi contoh tauladan akhlakul karimah.

Para hadirin undangan yang terhormat,
Kami sekeluarga menyampaikan terima kasih yang tak terhingga atas perkenan para hadirin undangan semuanya untuk hadir pada acara hari ini.
Dalam kesempatan ini perkenakanlah kami menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak – Ibu – hadirin semua pada acara pernikahan anak kami : ananda …………………. dengan ananda ……………. ( nama lengkap ).

Tiada kata yang sempurna untuk mengungkapkan perasaan kami sebagai orang tua pada saat ini, kecuali merasa bangga, terharu dan bahagia.
Kami merasa bangga karena telah sampai pada pelaksanaan tanggung jawab menghantarkan anak kami kepada bentuk kehidupan baru, kehidupan membentuk satu keluarga baru yang meneruskan generasi dan tradisi keluarga ini.

Ananda………………………,
Abah dan mama, merasa terharu atas ungkapan bakti ananda sebagaimana yang ananda ucapkan. Suatu ungkapan perasaan yang menunjukan sikap yang matang, dewasa dan bijaksana.
Abah dan mama merasa sangat berbahagia bahwa ananda telah menentukan pilihan teman pendamping dalam menjalankan bahtera kehidupan, membentuk keluarga sakinah – mawaddah wa rohkmah.
Sesunguhnya bagi abah dan mama, rasa bahagia ini sudah terpancar sejak ananda masih dalam kandungan.

Memang sang waktu berlalu sedemikian cepat dan telah kita lalui.
Dan dalam perjalanan waktu, terdapat berbagai suka duka romantika kehidupan.
Tiada harapan dan keinginan lain abah dan mama, kecuali kebahagian ananda.

…………………dan ananda ……………..
Dengan ini Abah dan Mama memberikan restu atas pernikahan ananda. Seluruh keluarga dengan ini memberikan restu dan memanjatkan do’a agar ananda berdua mendapat berkah dan inayyah dari Allah SWT.

Kami sekeluarga juga memohonkan agar bapak – ibu – saudara hadirin undangan yang terhormat, berkenan memberikan doa restunya kepada anak kami tercinta. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih

Anak kami seperti juga semua kita, akan membetuk keluarga yang saling mencintai dengan tulus ikhlas antara suami istri, cinta dan kasih sayang yang disebut sebagai keluarga mawaddah.
Sebab dengan saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi, saling hormat menghormati, menjaga kehormatan suami , menjaga kehormatan isteri. Dari situlah akan membangkitkan suasana ketenangan keluarga, ini namanya keluarga sakinah. Satu keluarga tempat berbagi suka dan duka dalam menempuh kehidupan.
Mawaddah dan sakinah akan memancarkan rahmah, menebarkan kasih sayang kepada lingkungan sekelilingnya. Berbelas kasih , berbagi kebahagian atau menebarkan kasih sayang dan kedamaian kepada sekelilingnya. Itulah tujuan pernikahan ananda berdua.

Sungguh indah dan mulia tujuan pernikahan itu. Besar harapan kami semua, untuk ananda berdua bahwa apapun yang terjadi, kembalilah kepada tujuan pernikahan ananda berdua. Berupayalah agar tujuan mulia pernikahan ananda berdua tetap terjaga hingga akhir hayat.

Ananda …………., Abah dan mama berpesan, cintailah istrimu, hormatilah dia, jagalah kehormatannya, berilah dia ketenangan dan kedamaian dalam rumah tanggamu.
Ananda ……………., cintailah suamimu, hormatilah dia, jagalah kehormatannya, berilah dia ketenangan dan kedamaian dalam rumah tanggamu.

Sebagai pasangan suami isteri, jadilah orang-orang yang mengasihi dan menyayangi orang-orang yang ada disekiling kalian, yang telah membantu kalian, yang telah mendidik dan merawat kalian. Insya Allah berbuat baik dan berkasih sayang, akan mendatangkan kebaikan dan kasih sayang yang berlimpah untuk ananda berdua.

Kepada para undangan yang kami hormati, sekali lagi sudilah kiranya Bapak – Ibu da saudara sekalian, memberikan do’a dan restu kepada kedua mempelai, agar apa yang mereka cita-citakan sebagai sepasang suami-istri dapat tercapai, agar mereka tuntung pandang , agar mereka langgen dan dapat membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Marilah kita semua memanjatkan doa untuk kedua mempelai :
BarakaLLahu laka - wa baraka ‘alaika - wa jama’a bainahuma fii khoiriin. Amiin Ya Rabbal ‘alamiin.

Demikianlah kata sambutan kami. Mohon maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat kesalahan dan kekhilafan kami.

Al haqqu mir Robbikum Wassalaamu ‘alaikum Wa rahmatullahi Wa barakatuh.

Rabu, 05 Oktober 2011

JUJUR ITU INDAH

JUJUR ITU INDAH

Konon di sebuah desa pinggiran kota hiduplah seorang pengembala miskin bernama Salim. Ia tinggal di sebuah gubuk reot bersama kedua orang tuanya. Setiap pagi Salim menggiring kambing-kambingnya di tanggul sungai dekat rumahnya yang subur ditumbuhi rumput hijau, sore menjelang maghrib barulah pulang.

Walaupun hidup miskin dan serba kekurangan, Salim memiliki sifat mulia yang telah di tanamkan oleh kedua orangtuanya sejak ia masih kecil, yaitu kejujuran. Kejujurannya yang tinggi membuat Salim disenangi banyak orang, hingga ada seorang kaya di desa itu yang ikhlas membiayai sekolahnya hingga tamat SMA. Setelah tamat SMA Salim memutuskan untuk tetap tinggal di desa menemani kedua orangtuanya yang sudah tua dan sakit-sakitnan.

Siang itu Salim duduk di pinggir sungai memandangi kambing-kambingnya yang sedang merumput, sesekali ia memandang air sungai yang mengalir dengan tenang. Tiba-tiba matanya tertuju pada sesuatu di hulu sungai. Setelah ia amati ternyata buah durian sebesar kepala mengapung terbawa arus.

“Wow! Durian!...” Salim langsung menceburkan diri ke sungai untuk mendapatkan buah itu.

Dibukanya durian itu, lalu ia melahapnya dengan nikmat. “Hmm, enak…pasti baru jatuh dari pohon”

Dalam waktu singkat durian itu hanya tinggal biji dan kulitnya. Salim kekenyangan, ia merebahkan tubuhnya di hamparan rumput.

Tiba-tiba ia terngiang oleh ajaran orangtuanya,”Salim, Jangan sekali-kali kamu makan sesuatu yang bukan hakmu. Itu haram! Makanan haram yang kamu makan kelak di akhirat akan menjadi api yang membakar perutmu…” Salim terhenyak sambil memegangi perutnya. Naluri kejujurannya membuat ia gelisah,”Waduh, bagaimana kalau durian tadi ada yang punya?”

“Ah, aku kan tidak mencuri, aku hanya menemukan durian hanyut yang mungkin sudah direlakan oleh pemiliknya”

“Tapi, bagaimana seandainya pemilik durian tidak rela? Celakalah aku! Perutku akan dibakar api! Oooh…gara-gara sebuah durian membuatku menderita di akhirat. Tidak! Aku tidak boleh tinggal diam. Akan kucari siapa pemilik durian itu. Aku akan memohon agar ia mau merelakan buah durian yang telah aku makan.”

Salim segera menggiring kambing-kambingnya ke kandang. Ia menceritakan kejadian itu pada orang tuanya serta memohon ijin. Setelah itu ia berjalan menelusuri sungai. Matanya mencari-cari siapa tahu ada pohon durian yang tumbuh di pinggir sungai. Setelah sekian lama berjalan barulah Salim menemukan apa yang ia cari, sebuah kebun yang ditumbuhi pohon-pohon durian dengan buahnya yang lebat.

“Assalamu ‘alaikum” sapa Salim kepada seorang laki-laki setengah baya yang sedang menyapu di dalam kebun durian.

“Wa’alikumussalam….” Jawabnya.

“Apakah Bapak yang memiliki kebun ini?”

“Betul, namaku Haji Abdulloh pemilik kebun di sekitar sini. Kamu siapa?”

“Saya Salim dari desa sebelah….” Ia pun menceritakan kejadian yang berawal dari ketika ia menemukan durian hanyut di sungai sampai perasaan berdosa yang menghantuinya, hingga mendorongnya untuk mencari pemilik durian itu dan memohon kerelaan atas durian yang telah ia makan. Haji Abdulloh manggut-manggut mendengar penuturan Salim dari awal hingga akhir. Ia salut akan kejujuran Salim. Dalam hati ia berkata,

“Hmm baru kali ini aku melihat seorang pemuda yang benar-benar jujur dan amanah. Sampai sejauh ini berjalan kaki, hanya untuk memohon kerelaanku atas durian yang ia temukan di sungai dan telah habis ia makan. Sebetulnya aku sudah merelakan semua buah-buahan di kebunku yang jatuh dari pohon untuk diambil siapapun. Apalagi sudah hanyut di sungai. Tapi baiklah, aku ingin menguji sampai dimana kejujuran dan kesungguhan dia untuk meminta kerelaanku”

“Salim, kalau memang kamu ingin mendapatkan kerelaan dariku, aku bersedia mengikhlaskan buah durian yang telah kamu makan tetapi setelah kamu melaksanakan syarat yang kuberikan.”

“Seberat apapun syaratnya, Insya Alloh saya sanggup melaksanakan, yang penting di akhirot kelak perut saya tidak dibakar api.”

“Baiklah, kamu harus membantu saya bekerja disawah dan merawat kebun ini selama satu tahun. Bagaimana?”

“Saya menerima syarat itu”

Keesokan harinya Salim mulai bekerja membantu Haji Abdulloh. Selesai sholat subuh ia sudah berangkat ke kebun Haji Abdulloh. Semua pekerjaan ia lakukan dengan rajin, tekun dan penuh semangat seolah tidak mengenal capek. Ia hanya beristirahat untuk sholat dan makan siang, lepas maghrib barulah ia pulang. Kebun Haji Abdulloh terawat dengan baik. Salim tidak menyadari bahwa diam-diam Haji Abdulloh selalu memperhatikan saat ia bekerja. Ia kagum dengan kesungguhan salim dalam melaksanakan syarat yang diberikannya, kerjanya keras, rajin dan tidak pernah mengeluh sedikitpun.

“Tidak seperti umumnya pemuda jaman sekarang, senang tidur, berfoya-foya, hura-hura tapi malas bekerja. Mereka hanya menyusahkan orang tua, minta uang seenaknya. Salim memang lain…”

Waktu berjalan begitu cepat, setahun sudah Salim mengabdi pada Haji Abdulloh. Namun Salim berniat ingin menambah pengabdian sebulan lagi sebagai tanda syukurnya bahwa durian yang ia makan tahun lalu, akan mendapat ridho pemiliknya. Selama bekerja pada Haji Abdulloh, Salim telah meninggalkan kesan baik yang tidak bisa dilupakan olehnya.

“Kalau saja Salim mau, aku ingin ia tetap tinggal bersamaku selamanya…”

Haji Abdulloh tidak bisa memungkiri dirinya bahwa ia telah terpikat oleh kebaikan budi pekerti dan kejujuran Salim. Ia memutuskan untuk menjadikan Salim menantunya. Istri Haji Abdulloh pun setuju. Namun sekali lagi Haji Abdulloh ingin menguji kejujuran dan ketulusan hati Salim.

Suatu sore ia memanggil Salim, “Salim, aku menyaksikan bahwa kamu telah sungguh-sungguh melaksanakan syarat yang kuberikan selama satu tahun bahkan kamu menambahkan lagi selama satu bulan. Namun aku belum sepenuhnya merelahkan durian itu sebelum kamu melaksanakan satu syarat lagi”

“Pak Haji, saya sudah bertekad bahwa apapun syarat yang Pak haji berikan Insya Alloh akan saya terima demi mendapat keridhoan dari Pak haji, sehingga di akhirot kelak perut saya tidak dibakar oleh Alloh”

“Baiklah, syarat berikutnya adalah kamu harus menikahi putriku yang sekarang sedang menuntut ilmu di pondok pesantren. Tapi kamu harus tahu bahwa putriku itu buta matanya, tuli dan bisu. Bagaimana?”

“Kalau memang dengan cara begitu Pak Haji bisa ridho, Insya Alloh akan saya jalani”

Akhirnya pada saat yang ditentukan, pernikahan antara Salim dengan putri Haji Abdulloh dilaksanakan. Para undangan memadati ruang tamu. Acara pernikahan pun berlangsung tertib dan khidmat dengan menggunakan adat Betawi. Wajah mempelai wanita tertutup rapat dengan pakaian adat. Selama prosesi dilakukan dengan menggunakan isyarat karena diketahui bahwa mempelai wanita kondisinya buta, bisu dan tuli.

Di malam pengantin, jantung Salim berebar kencang. Para tamu sudah pulang, Pak Haji dan istrinya terlelap karena kecapekan. Kini, didalam kamar pengantin hanya tinggal Salim dan putri pak haji, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dengan berdebar-debar ia mendekati istrinya, ia telah mempersiapkan mental untuk bisa menerima istri yang cacat. Dengan lembut ia membuka penutup wajah istrinya, Lalu….

“Haah??...” Salim terpengaruh demi melihat seorang gadis berparas cantik di depannya, mata bersinar dengan bulu mata yang lentik…..

“Assalamu ‘alaikum suamiku. Alloh telah memilihku untuk menjadi istrimu. Aku siap melayanimu….”

Seorang Salim yang jujur dan amanah bukan malah gembira melihat keadaan ini. Ia takut. Jangankan menyentuh, mendekatpun tidak berani. Pikirannya berkecamuk.

“Kenapa bisa begini? Istriku kan buta, bisu dan tuli. Dan dia memang cantik dan sempurna tapi aku tidak boleh melakukannya. Aku tidak mau berzina. Dia bukan istriku, siapa dia? Mengapa berada dikamarku? Dimana istriku yang sebenarnya?”

Salim menghambur keluar menuju teras rumah. Ia memikirkan kejadian yang baru dialaminya, lalu ia tertidur sampai terdengar Adzan subuh. Ketika pak haji membuka pintu untuk sholat subuh di masjid ia terkejut demi melihat Salim meringkuk di atas kursi.

“Salim, bangun. Salim…”

“Oaaaahm, i-iya pak,” dengan mata yang masih mengantuk ia menceritakan kejadian semalam.

“Saya tidak mengerti, kenapa semalam istri saya yang buta, bisu dan tuli tidak ada di kamar, yang ada hanya seorang perempuan cantik yang berusaha menggoda saya. Ini tidak lucu”

Haji Abdulloh tersenyum, ia bangga dengan kesucian hati Salim,”Fatimah! Kemarilah….”

Gadis cantik yang ditemuinya semalam muncul di hadapan Salim.

“Salim. Fatimah adalah anak gadisku satu-satunya. Dialah istrimu sebenarnya. Adapun aku mengatakan ia buta, bisu dan tuli hanyalah sekedar kiasan. Selama ini putriku tinggal di pondok pesantren, ia buta dari hiburan-hiburan televisi dengan acara yang mengarah pada kemaksiatan, kemusyrikan dan kesesatan. Bisu dari pembicaraan jelek, mencela, menghujat dan menfitnah. Dan ia tuli dari pendengaran yang maksiyat, fitnah dan nyanyian-nyanyian syirik. Setiap hari ia hanya mendengar ayat-ayat Alloh. Dia adalah Fatimah. Berbahagialah anakku. Fatimah, Insya Alloh engkau akan menjadi seorang istri yang sholihat. Dan kau Salim, Insya Alloh engkau akan menjadi suami yang baik dan bertanggungjawab. Semoga Alloh menjadikan kalian keluarga yang sakinah.” (TPQ KHOIRUL HUDA – KERTOSONO)

Selasa, 04 Oktober 2011

pelajaran dari alam


Menurut para pakar yg mengamati proses perkawinan ayam & bebek bahwa di katakan ayam setelah melakukan perkawinan dia langsung lari ,sedang kan bebek setelah melakukan perkawinan dia langsung mandi, hmm ….. sebuah pelajaran beharga dari alam sekitar kita. Manusia  ??????????? lari atau tidok. kalo yg lari pecaknyo klo sdh ngenjuk duit ......

WUDHU LAHIR-BATIN

Seorang ahli ibadah bernama Isam Bin Yusuf, sangat waras dan khusyuk sholatnya. Namun, dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggap lebih ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasaikan kurang khusyuk.

Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seseorang bernama Hatim Al-Assam dan bertanya, "Wahai Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?"Hatim berkata, "Apabila masuk waktu solat, aku berwudhu lahir dan batin."
Isam bertanya, "Bagaimana wudhu lahir dan batin itu? "

Hatim berkata,"Wudhu lahir sebagaimana biasa yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara, yaitu:
* Bertaubat
* Menyesali dosa yang telah dilakukan
* Tidak tergila-gilakan dunia
* Tidak mencari/mengharap pujian orang (riya')
* Tinggalkan sifat berbangga
* Tinggalkan sifat khianat dan menipu
* Meninggalkan sifat dengki."

Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku rasakan:
1.aku sedang berhadapan dengan Allah,
2.Surga di sebelah kananku,
3.Neraka di sebelah kiriku,
4.Malaikat Maut berada di belakangku, dan
5.Aku bayangkan pula aku seolah-olah berdiri di atas titian 'Shiratal mustaqim' dan menganggap bahwa sholatku kali ini adalah sholat terakhir bagiku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik."

"Setiap bacaan dan doa didalam sholat, aku paham maknanya kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersholat selama 30 tahun."

Apabila Isam mendengar, menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.